Kandangan adalah sebuah kecamatan sekaligus ibukota kabupaten, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Indonesia. Kandangan terkenal dengan makanan-makanan antara lain dodol, lemang, dan ketupat khas Kandangan. Tidak hanya wisata kuliner yang terkenal di Kandangan, wisata lainnya pun juga seperti Wisata Alam, Wisata Religi, Wisata Sejarah, Wisata Budaya, dan Wisata Hiburan.
Wisata Alam
Loksado
Objek wisata alam Loksado tak hanya menarik
dari segi kesejukan alam, air terjun bertingkat dan pemandinan air panas di
desa Tanuhi. Arung jeram Loksado tepatnya berada di 60 km dari kota Kandangan,
ibukota kabupatan Hulu Sungai Selatan atau 195 km dari Banjarmasin
Kalimantan
Selatan. Pernak-pernik kekayaan budayanya menjadi sumber inspirasi bagi
peneliti budaya dan tumbuh-tumbuhan.
Ada 43 Balai (rumah adat) tersebar di 9
desa kecamatan Loksado. Yang paling besar adalah Balai Malaris, Balai Haratai,
dan Balai Padang. Satu hal yang paling berkesan di mata turis baik wisman
maupun wisatawan domestik adalah setelah sekian jam jalan kaki melintas
hutan, kemudian ditutup dengan wisata arung jeram menggunakan lanting (rakit bambu).
Pengalaman berarung jeram dengan lanting (bamboo rafting) meninggalkan kesan khusus
bagi para wisatawan.
1. Arung Jeram dengan Bambu ( Bambu Rafting )
Cuma ada di Loksado arung
jeram dengan bambu.
Bayangkanlah serunya arung jeram, namun bukan dengan perahu karet, melainkan
rakit bambu. Pengalaman
arung jeram yang unik ini, bisa Anda dapatkan jika berkunjung ke Loksado, di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan sekitar 3/4 jam dari Banjarmasin. Bagi Anda yang suka
fotografi, pemandangan di sekitar sungai Amandit adalah lokasi yang cocok untuk
berburu foto. Liburan yang asek dan biaya yang murah jika dibandingkan pergi liburan ke luar pulau.
Lanting yang dibentuk artistik ini mampu mengarungi jeram serta riam
yang bercadas dan berarus deras. Karena keunikannya, maka memancing para
wisatawan untuk merasakan sensasi petualangan mengarungi sungai amandit
dengan lanting paring / bambu ini. Bercengkerama dengan riam dan jeram
berarus deras seraya berhanyut di atas rakit bambu sambil menikmati
panorama alam yang indah sepanjang pinggiran sungai yang eksotis akan
memberikan kesan tersendiri. Petualangan mengarungi seungai amandit
dengan rakit bambu ini didampingi oleh pemandu lanting yang terlatih,
sehingga wisatawan bisa dengan leluasa menikmati petualangan ini.
Berpetualang menikmati keindahan alam Hulu Sungai Selatan, khususnya
kawasan Loksado akan memberikan pengalaman baru yang tidak dapat ditemui
di daerah lain, air terjun indah yang dibalut dengan rimbunnya hutan
tropika akan sangat sayang jika tak dikunjungi, melihat geliat
masyarakat lokal dengan menggunakan rakit bambu mengarungi terjalnya
jeram-jeram sungai Amandit sambil menikmati indahnya panorama alam
pegunungan, merupakan tantangan untuk sekedar memompa sedikit adrenalin
anda ketika ikut menyusuri sungai amandit dengan lanting paring / rakit
bambu.
2. Air Terjun Haratai
Perjalanan menuju air Terjun
Haratai Loksado memiliki sensasi tersendiri, jalan berliku-liku serta naik dan turun gunung, menikmati aroma pegunungan
yang khas, melihat pemandangan sekitar gunung yang indah. Cocok sekali untuk anda liburan. Yang suka fotografi bisa foto-foto
karena keindahan pemandangan sekitar sangat bagus sekali. Untuk menuju
ke lokasi air terjun Haratai tidak dapat menggunakan mobil tetapi tenang saja disana banyak tersedia ojek motor trail
atau menggunakan motor roda dua pribadi anda. Ketika sampai di lokasi
air terjun Haratai rasa lelah anda pasti hilang karena di sekitar air
terjun udaranya sangat sejuk sekali.
3. Air Terjun Kilat Api
Salah satu keindahan alam
Borneo yang tak bosan untuk dinikmati adalah di Loksado. Kawasan wisata andalan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan ini berada didaerah pegunungan Meratus. Bumi Borneo
(Kalimantan) memang memiliki beragam kekayaan yang luar biasa. Bukan
hanya kaya akan Sumber Daya Alamnya saja, tetapi Borneo juga memiliki
keindahan alam dan beragam seni serta budaya yang benar-benar mampu
memikat siapa saja untuk mengunjunginya. Wisata alam yang ada di Loksado bukan hanya air terjun Haratai dan air panas Tanuhi saja tetapi ada juga air terjun yang tak kalah mempesona, yakni air terjun Kilat Api. Air terjun Kilat Api hanya berjarak lebih kurang 950 meter dari obyek wisata air panas Tanuhi.
4. Gunung Kentawan
Wisata Religi
1. Mesjid Su'ada / Mesjid Ba'angkat
Masjid Su’ada atau lebih dikenal dengan nama Masjid Ba'angkat adalah salah satu masjid tertua di Kalimantan Selatan yang berlokasi di desa Wasah Hilir, Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Masjid ini
didirikan oleh ulama bernama Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah
Syekh H.M. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28
Zulhijjah 1328 Hijriyah bersamaan dengan tahun 1908 Masehi. Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin
Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1.047,25 meter persegi. Masjid ini
berjarak sekitar 7 kilometer dari ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kandangan.
- Tingkat pertama mengandung makna Syariat
- Tingkat kedua mengandung makna Thariqat
- Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
- Loteng mengandung makna Ma’rifat
- Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat
2. Taniran Kubah / Datu Taniran
Taniran adalah salah satu kampung besar di bagian Utara Kandangan.
Saat ini, secara administratif kampung Taniran terbagi menjadi dua desa,
yaitu Desa Taniran Kubah dan Desa Taniran Selatan. Di Desa Taniran
Kubahlah terletak makam keramat Datu Taniran, lebih kurang 8 km dari
kota Kandangan.
Masyarakat kampung Taniran sudah lama dikenal religius, paling tidak
sejak akhir abad ke-18. Saya punya bukti bahwa sebelum kedatangan Datu
Taniran, masyarakat kampung ini sudah dididik oleh Sayyid Hasan bin
Hasyim Assegaf, yaitu ayahnya Sayyid Abu Bakr yang dikenal sebagai Habib
Lumpangi di Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Sayyid
Hasan ini diperkirakan berdomisili di kampung Taniran sekitar pergantian
abad ke-18 dan 19 M, atau beriringan dengan masa-masa terakhir
kehidupan Datu Kalampayan. Makam Sayyid Hasan sekarang dapat diziarahi
di Desa Taniran Kubah sekitar 1 km lebih ke dalam daripada makam Datu
Taniran.
Adapun Datu Taniran, nama beliau adalah Tuan Guru Haji Muhammad Thaib alias Haji Sa’duddin bin Mufti Haji Muhammad As’ad bin Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau dilahirkan di Dalam Pagar, Martapura, pada tahun 1774, dan meninggal pada 1858 di Taniran Kubah. Di dalam Manaqib Datu Taniran disebutkan bahwa beliau sempat bertemu langsung dengan Datu Kalampayan. Sejak usia 25 tahun, Datu Taniran sudah dikirim ke Haramain untuk belajar agama selama 10 tahun. Namun, beliau banyak berguru kepada ayah beliau sendiri dan juga kakak-kakak beliau, di samping tidak ketinggalan pula saudara beliau seperti Datu Pagatan dan Datu Balimau.
Menurut catatan sejarah, Datu Taniran berkhidmat sekitar 45 tahun di Kampung Taniran. Masa pengkhidmatan beliau itu merupakan era kejayaan religius Kesultanan Banjar, yakni bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah antara 1825-1857 M. Seperti diketahui dari catatan sejarah Kesultanan Banjar, di masa Sultan Adam inilah terwujudnya Undang-Undang Syariat Islam yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Sultan Adam. Di masa ini, penjajahan Belanda boleh dikatakan belum terjadi di Negeri Banjar, karena secara de facto Belanda baru berkuasa setelah mangkatnya Sultan Adam beriringan dengan menjelang wafatnya Datu Taniran.
3. Datu Ahmad Balimau
Tugas dakwah
tidaklah mengenal waktu dan tempat, dari sekian banyak keturunan Datu
Kalampayan yang berdakwah di luar daerah adalah 'Alimul Allamah Haji Ahmad bin
Alimul Allamah Mufti Haji Muhammad As'ad anak dari Syarifah binti Syeikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, beliau adalah salah satu ulama yang sempat menimba
ilmu secara langsung dari Datuk beliau yaitu Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari
dan dari ayahnya sendiri yang merupakan seorang Mufti di kala itu, seorang yang
ber ilmu lagi mengamalkan ilmunya, rendah hati, pemurah, penyabar dan di segani
segenap lapisan masyarakat karena berani menegakkan kebenaran.
Beliau mendapat tugas untuk
menyebarkan ilmu di daerah Balimau Kandangan, dengan ilmu yang beliau miliki
dari hasil belajar dengan datuk nenek beliau yang berpengatahuan luas, beliau
melakukan dakwah, beliau merupakan anak ketiga dari 12 bersaudara keturunan
dari mufti Syeikh Muhammad As'ad bin Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al
Banjari, adapun anak anak dari Syeikh Muhammad As'ad adalah :
1. Alimul
Allamah Haji Abu Thalhah wafat dan dimakamkan di Tenggarong Kutai kalimantan
Timur;
2. Allimul
Allamah Haji Abu hamid wafat dan di makamkan di Ujung Pandaran Sampit
kalimantan Tengah;
3. Allimul
Allamah Haji Ahmad wafat dan dimakamkan di Balimau Kandangan kalimantan Selatan;
4. Allimul
Allamah Haji Muhammad Arsyad lamak Mufti Pagatan dimakamkan di Pagatan Tanah
Bumbu Kalsel;
5. Allimul
Allamah Haji Sa'dudin wafat dan dimakamkan di kampung Taniran Kubah Kandangan
Kalsel.
1. Saudah
2. Rahmah
3. Saidah
4. Salehah
5. Sunbul
6. Limir
7. Afiah
Konon menurut
cerita masyarakat makam beliau yang sekarang, yang terletak di daerah balimau
adalah bukan tempat beliau di makamkan pertama kali. Dahulunya setelah beliau
wafat di makamkan di satu tempat namun tanpa di ketahui makam tersebut hilang,
tapi pada satu malam makam beliau hilang tersebut terlihat satu cahaya terang
benderang dari makam beliau yang pertama berpindah ke makam beliau yang
sekarang ini.juga menurut penuturan masyarakat setempat ditempat makam beliau
yang pertama telah di jadikan sarang maksiat oleh para perampok, oleh sebab
itulah maka makam beliau berpindah dengan sendirinya dengan ijin Allah SWT
ketempat yang lebih baik.
Daerah itu dihuni seorang lelaki
tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri.
Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data.
Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh
perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma terpana oleh irama
sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia
terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di
sisinya. Ia tertidur. Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia
terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia
tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Rupanya memang sudah adat dunia,
tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang
Sukma selama ini akhirnya tercium baunya. Sore itu, Awang Sukma tidur lelap
sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian
putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke
atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil
berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai. Putri bungsu memburunya.
Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi.
Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget
hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk
sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih.
Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya. “Aku harus kembali,”
katanya dalam hati. Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu,
ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium
putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu
dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap
pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu
tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia
bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi. “Adinda harus kembali,” kata
istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan
ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas,
bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling
Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya. Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Wisata Sejarah
1. Benteng Madang
Benteng Madang terletak di kec. Padang Batung di desa Madang. Desa Madang
merupakan daerah pegunungan oleh karena itu udaranya sangat sejuk
sekali. Jarak dari kota Kandangan ke lokasi Benteng Madang sekitar 8 km
tidak jauh. Benteng Madang merupakan benteng pertahan untuk melawan
serdadu Belanda di zaman dulu.
2. Tugu Ni'ih Loksado
MONUMEN PROKLAMASI 17 MEI 1949 / TUGU NI'IH LOKSADO
PROKLAMASI
MERDEKA !
Dengan ini kami
rakyat Indonesia di Kal Sel, mempermaklumkan berdirinya Pem. Gub. Tentara dan
A. L. R. I melingkungi seluruh daerah Kal-Sel. Mendjadi bagian dari Republik
Indonesia memenuhi proklamasi 17-8-45 jg ditanda tangani oleh Pres. Soekarno
dan Wk. Pres. Mohd Hatta.
Hal-hal jg bersangkutan
dg pemindahan kekuasaan dan dipertahankan
dan kalau perlu diperjuangkan sampai tetesan darah jg penghabisan.
Tetap Merdeka!
Kandangan,17 Mei
Atas Nama Rakyat Indonesia
di Kal Sel
Gubernur Tentara
d.t.t
HASSAN BASRY
3. Telaga Bidadari
Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang
lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter.
Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun.
Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan
kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu
berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan
tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung
mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak
rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang
yang memakannya karena memabukkan.
Awang
Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung
datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan
melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah
itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta,
semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah
bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke
dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon
itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu
Pulut.
Akan
tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan
tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang
merekah. “Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun
sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus
asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu
indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga
pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri.
Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia
tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari
negeri jauh.
Ternyata,
ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga.
Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka
bersembur-semburan air. “Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang
Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang
yang sedang diintip.
Dari
tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri
itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya
menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang
bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk
menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di
kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas
bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain
sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah
seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung
(tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam
kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika
ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan
paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat
itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya. “Tuan Putri jangan takut
dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba”. Tidak ada
alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang
Sukma.
Awang
Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri
bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi,
antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam
ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi
nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku
sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap
pakaian itu.
Putri
bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri
tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada
istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia
kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya. Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga
Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang
memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut
dan Datu Suling.
Sumber : http://disbudparkabhss.blogspot.com/
Comments
Post a Comment